BEM VINDO KMANEK WAIN BA ITA BOT NIA HAKBESIKAN MAI,dezkulpa e brigado...ABC
Powered By Blogger

Minggu, 19 Februari 2012

Oleh: Merah Johansyah Ismail, Div. Hukum dan Advokasi JATAM Kaltim

Shell, Canoco Phillips dan Osaka gas adalah tiga pemegang saham mayoritas terhadap operasi ladang minyak dan gas alam di ladang Sunrise, di Timor Leste. Bagai berebut sepotong surga, kini pemerintah Australia berencana membuat pipa panjang gas dari Darwin menuju JPDA yang berpotensi mempreteli pendapatan migas yang kini sudah sangat tidak berpihak pada Timor Leste, apalagi ketika rencana pemipaan tersebut tetap diwujudkan

Pagi yang terik di Farol, sebuah subdistrik di tengah kota Dili. Sinar matahari nampak leluasa menyorot deret bangunan berwarna putih pucat di ibukota Timor Leste ini. Tak ada bangunan yang sangat tinggi, paling banter bangunan-bangunan di Dili hanya 2 hingga 3 tingkat tingginya, tak lebih. Dili memang sedang membangun, setelah peristiwa huru hara politik terakhir 2006, ketika Mari Alkatiri, pimpinan Fretilin dijatuhkan melalui aksi konspiratif yang melibatkan Australia.

Huru hara ini membuat Timor Leste kehilangan sebagian besar bangunannya akibat dibakar dan diratakan dengan tanah. Kini wajar jika sinar matahari menerobos hampir tanpa gangguan di Dili. Huru hara politik memang lengket bagai "lem"di negara muda ini. Hampir setiap transisi politik disertai pula oleh kekerasan bersenjata dan pembakaran situs-situs publik, tentu saja ini semua tak lepas dari daya tarik aset-aset strategis Timor Leste, apalagi kalau bukan sumber daya alam terutama cebakan minyak alam, di Celah Laut Timor.

Pulau kecil berluas 32 ribu kilometer persegi ini memberikan kesaksian atas perang panjang yang terus berlangsung sejak Jaman Diktator Soeharto yang melakukan pendudukan pada Desember 1975, hanya selang 10 hari setelah lepas dari kekuasaan Portugis, dengan restu Amerika Serikat dan atas nama politik pencegahan Komunisme di Asia Tenggara. Ketika rezim Soeharto kehilangan dukungan dan jatuh pada 1998, hasil referendum 1999, sebanyak 78,5 % persen suara membawa Timor Leste ke lembaran sejarah baru kemerdekaan lepas dari penjajahan Indonesia.

Tapi huru hara tak otomatis berakhir, atas nama politik keamanan kawasan, kehadiran polisi-polisi negara-negara asing menjadi pemandangan biasa di jalan-jalan utama di Dili bahkan ketika pertama kali saya sampai dan menjejakkan kaki di Bandara Nicolau Lobato. Sejumlah tentara asing mondar-mandir beserta puluhan mobil four wheel drive, bertuliskan UN Police, nampak parkir di setiap sudut. Menurut kabar dari mulut ke mulut, sebagian konflik dipelihara lewat asupan senjata dan logistik lainnya oleh pihak tertentu.

Saya terbang menggunakan pesawat Merpati yang hanya memiliki jadwal 1 kali penerbangan sehari untuk jalur penerbangan Bali ke Dili. Penerbangan komersil ini ditempuh dalam waktu satu setengah jam. Terhitung lima hari sejak 26 - 30 Juli 2010, saya berkesempatan berada di Dili untuk menghadiri Pertemuan Regional OilWatch SEA (South East Asia), sebagai bagian dari JATAM yang merupakan anggota OW SEA, untuk belajar dan bertemu dengan kawan-kawan lain yang bergulat dengan isu advokasi daya rusak fossil fuels, bahan bakar fosil.

La'o Hamutuk, Anggota OW SEA yang selama ini lantang bersuara tentang kedaulatan energi di Dili, menjadi tuan rumah yang sangat baik. Menyambut, memfasilitasi semua pertemuan dan memberikan persahabatan hangat, mengajak kami ke tempat-tempat penting, berbagi informasi dan cerita yang sangat mempengaruhi tulisan ini.

Tuhan Baru, Fundu Minarai

Negara baru yang mewarisi hutan yang rusak akibat pendudukan Indonesia, masih mengandalkan impor pakaian, beras dan kebutuhan pokok lainnya dari Kupang dan supply BBM dari Atambua tentu adalah ujian tersendiri. Konsultan asing menyerbu Timor Leste, nampak terlihat ketika saya membuka lembar demi lembar, dua koran harian utama di Dili, Timor Post dan Suara Timor Lorosae. hampir setiap halaman koran dipenuhi dengan Iklan Lowongan Kerja yang membutuhkan konsultan asing, sudah menjadi "gosip" dimana-mana bahwa para konsultan asing ini dibayar hingga 2 kali lipat gaji konsultan lokal. Program-program rehabilitasi pascakonflik biasanya beredar di tangan mereka.

Begitu juga berbagai IFI's, International Financial Institutions semacam World Bank, IMF hingga "saudara kembar"nya di Asia, ADB (Asean Development Bank) berlomba mendikte negara yang berbahasa resmi Tetum dan Portugis ini agar menggunakan skema-skema bantuan asing dan keuangan lainnya.

Diwaktu rehat pertemuan di Farol, saya berbincang dengan Juvinal Diaz, Aktivis La'o Hamutuk. Juvi, begitu panggilan akrabnya menuturkan bahwa sejak tahun 2005 Timor Leste mengadopsi Petroleum Fund Act yang diadopsi dari Norwegia dan menjadi pendapatan utama State Budget Timor Leste. Dari 847 Juta Dolar AS State Budget Timor Leste, 811 Juta atau 97% diantaranya didapat dari sektor Migas yang mesti "transit" dulu dengan nama petroleum fund di NewYork, Amerika Serikat.

"Keran" uang yang paling banyak dihasilkan dari sektor Migas itu mengucur deras ke state budget. Juvi dengan ketus berujar, yang menikmati itu semua hanyalah para elit. Jika dulu para Anggota Parlemen hanya bergaji 600 Dolar AS kini Anggota Parlemen Timor Leste digaji 3.000 Dolar AS perbulan ditambah lagi dengan Perdiem 100 Dolar AS Perhari plus1 Mobil Pajero untuk menunjang operasional. Petroleum Fund atau Fundu Minarai dalam bahasa Tetum atau uang hasil penjualan Migas dalam bahasa Indonesia, telah menggantikan Tuhan. Semua orang telah berharap "kecipratan" berkahnya. Sayang berkahnya hanya berhenti dan "parkir"untuk Perusahaan Minyak dan Gas Asing dan sisanya diperebutkan para elit. Cukup hanya disitu.

Sepotong Surga di Celah Timor

Surga itu bernama Cebakan Cadangan Minyak dan Gas Alam. Ladang Cebakan minyak Sunrise dan Troubadour yang ditemukan Tahun 1974 adalah ladang cebakan minyak terbesar yang diklaim bersama oleh Australia dan Timor Leste. Cebakan itu diestimasi mengandung 300 juta barel, Light Oil (kondensat dan LPG). Bersama Lima Titik Minyak dan Gas Alam lainnya sejak tahun 2002 dikelola dalam perjanjian yang disebut JPDA (Joint Petroleum Development Area). Australia dan Timor Leste kemudian membentuk lembaga administratif bersama untuk pengelolaanya bernama ATSDA (Australia Timor Sea Designated Authority). Padahal sebenarnya dalam kritik kelompok masyarakat sipil di Timor Leste, area ini lebih dekat dengan Timor Leste ketimbang Australia.

Shell, Canoco Phillips dan Osaka gas adalah tiga pemegang saham mayoritas terhadap operasi ladang minyak dan gas alam di ladang Sunrise ini. Bagai berebut sepotong surga, kini pemerintah Australia berencana membuat pipa panjang gas dari Darwin menuju JPDA yang berpotensi mempreteli pendapatan migas yang kini sudah sangat tidak berpihak pada Timor Leste, apalagi ketika rencana pemipaan tersebut tetap diwujudkan.

Di sudut celah laut timor yang lain, ENI "Raksasa"Migas dari Italia dan Reliance dari India, Oktober ini sedang siap-siap melakukan pengeboran. Peristiwa Montara yang di Indonesia sedang diributkan oleh media nasional beberapa minggu lalu ternyata tak mempengaruhi niat ENI dan Reliance untuk tetap mengebor. Kami sempat melontarkan kritik kepada ANP (Authoridade Nacional Do Petroleum), semacam BP Migas-nya Timor Leste untuk menghentikan sementara aktivitas pengeboran di Laut Timor, menunggu pembersihan limbah, pengumuman resmi dan pasti penyebab dari tumpahan minyak, menunggu semuanya stabil agar kita semua belajar bersama dari kegagalan pengeboran Montara.

Selain surga di celah Timor, kekayaan Negara yang biasa juga disebut Timor Lorosa'e ini adalah di panorama alamnya yang sangat indah. Selain punya pesisir pantai dengan pasir putih, Dili juga mengelilingi mata saya dengan pegunungan dan dataran tinggi yang ditumbuhi barisan eucalyptus. Tumbuhan semacam paku-pakuan ini tumbuh secara liar dan biasa ditebang untuk dijadikan kayubakar oleh masyarakat setempat.

Selain itu, sejumlah nama pegunungan cukup dikenal seperti Gunung Fatuahi dan tentu saja Gunung Ramelau di District Ainaro yang puncaknya mencapai tinggi 7.000 meter di atas permukaan laut. Pegunungan menjadi bagian tak terpisahkan dari cerita perjuangan masyarakat Timor Leste. Gerilyawan kemerdekaan Timor Leste menghabiskan masa hidupnya sebagian di pegunungan, bergerilya dan bersembunyi pada saat perang. Gunung-gunung Timor Leste yang harum terkenal dengan perkebunan kopi dan cendananya, produk utama Timor Leste, salah satu alasan portugis datang dan melirik nilai ekonomis kayu-kayu Cendana di sepanjang Pegunungan Timor. Akar kayu-kayu cendana ini dapat menjadi produk wewangian dan jika dikerik kayunya menjadi komponen penting obat Asma.

China Connections di Hera

Tepat di siang hari, kami menyisir Pantai Kelapa, menggunakan truk dengan bagian belakang terbuka. Sebagian besar dari kami berada di truk itu dan lainnya menumpang mobil milik Charles Scheiner, seorang teman berkewarganegaraan Amerika yang sekarang juga bekerja untuk La'o Hamutuk. Beriringan kami menuju ke timur, melewati Pasar Mercado kemudian melewati jalan-jalan berliku dan menanjak di subdistrict Hera, sebuah kecamatan di Dili. Tak begitu jauh dari pusat kota Dili sebenarnya, kurang lebih satu jam perjalanan kita akan sampai di Hera Power Plant, begitu penjelasan Juvinal, dengan tubuh terguncang karena truk kami menuruni jalan yg terjal yang awalnya menanjak. Juvinal bilang, disinilah kita akan melihat bagaimana sesungguhnya "angka-angka" pendapatan dari sektor Migas yang selama ini beredar di dokumen-dokumen ekonomi makro dan di pertemuan-pertemuan resmi dengan pemerintah hanyalah "ekonomi artifisial", ekonomi palsu. Disini kita bisa liat bagaimana rakyat kami hidup dan bertahan sesungguh-sungguhnya..", pungkas Juvinal sambil menunjuk rumah-rumah masyarakat di sekitar aspal jalan yang hanya beratap daun kelapa dan rumbia saja dengan setumpuk kayu bakar terikat siap jual yg selalu ada di depan rumah sebagai aktivitas ekonomi mereka.

Truk akhirnya berhenti. Nampak sebuah areal dengan gerbang besi tinggi menutup pandangan orang luar untuk melihat ke dalam. Di sisinya terdapat berjejer tiang bendera dengan satu bendera yang terpancang, berwarna biru muda bertulis CNI 22. CNI 22 adalah kependekan dari China Nuclear Industries, 22ndConstruction Company. Di seberang jalan tepat di hadapan bangunan tersebut terdapat plang bertulis Hera Power Plant Facility. Kemudian Juvinal turun dari truk plus seorang kawan lagi dari La'o Hamutuk bernegosiasi dengan penjaga gerbang agar diperbolehkan masuk.

Tepat tengah hari kami berada di Hera Power Plant, sambil menunggu negosiasi Juvi—panggilan akrab juvinal, kami berteduh di pinggir-pinggir jalan. Beberapa kali gerbang terbuka sebentar. Nampak para pekerja keluar karena waktu istirahat. Mereka semua adalah pekerja dari Cina, begitu tuturan Ines, seorang aktivis perempuan La'o Hamutuk yang duduk tepat disamping saya.

Proyek Hera Power Plant merupakan proyek terbesar di Timor Leste dekade ini. Proyek listrik 120 Megawatt berbahan bakar Heavy Oil ini akan menyedot 400 Juta dolarAS hingga 3 tahun ke depan atau separuh dari Anggaran Nasional Timor Leste sekarang sebesar 847 Juta Dolar AS. Kontraknya ditandatangani pada Oktober 2008 dan ditargetkan dapat memenuhi kebutuhan listrik 13 distrik pada akhir tahun 2009 dan setiap subdistrik pada akhir tahun 2010.

Salah satu alasan yang sering diutarakan pemerintah Timor Leste juga adalah untuk membuka lapangan kerja. Akan tetapi kenyataannya berbading terbalik, malah pekerja-pekerja dari China yang didatangkan ke sini. Orang Timor hanya menjadi buruh kasar dengan bayaran hanya 2 dolar AS perhari. Masalah perburuhan dan upah murah itu digenapi dengan minimnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan keberadaan proyek ambisius ini ,dan tentu saja informasi yang tidak utuh tentang resiko polusi dan pencemaran dari pembakaran Heavy Oil seperti Kanker dan Gangguan Pernafasan. Skandal pengadaan barang juga sempat menjadi masalah di proyek ini. Diduga keras, generator yang didatangkan dari China adalah generator bekas dan berpotensi merugikan keuangan Negara. Koneksi bisnis China sudah menggurita di proyek ini. Juvinal selesai bernegosiasi, mukanya yang masam menunjukan pertanda buruk. "Kita tidak diperbolehkan masuk ke dalam", ujarnya. Truk kembali dipacu. Kami memutuskan meninggalkan Hera menuju pantai.

Ketika Minyak tak ada lagi

Bulan bulat berwarna kuning terang merayap naik ke langit, senja berganti gelap malam, namun angin tak mau berhenti berhembus di pantai kelapa, tempat kami menggelar malam perpisahan di Dili sambil menenggak soffie, arak tradisional dari Timor Leste. Besok kami semua mesti kembali ke Indonesia. Setumpuk pertanyaan masih bergelayut di pikiran. Dengan pendapatan yang tiba-tiba deras dari sektor Migas, membuat Timor Leste menjadi negara yang sangat bergantung pada minyak dan gas alam.

Sayangnya kedua sumber daya alam ini adalah sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui dan akan habis suatu saat nanti. Apa yang akan dilakukan jika semua ini habis? Hal yang sama sekarang terjadi juga di Indonesia dan Kalimantan. Apa yang terjadi jika minyak dan batubara yang kini sudah merenggut sawah-sawah petani menjadi lahan tambang di Kutai Kertanegara, membuat banjir Samarinda dan melubangi tanah Kutai Timur sudah tak ada lagi? Sementara kita sudah begitu tergantung padanya dan sudah terlalu merusak bumi kita karenanya? ***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Timor-Leste
"Berikanlah sedikit suara anda dan berikanlah sebnyak mungkin telinga anda"

Pengikut

Powered By Blogger